Sistem penegakan hukum korupsi di Indonesia menghadapi dilema fundamental: bagaimana mencapai target kuantitatif penanganan kasus korupsi tanpa mengorbankan prinsip keadilan prosedural dan kualitas investigasi.
Fenomena ini memanifestasikan dirinya melalui mekanisme tunjangan kinerja (tukin) yang dikaitkan dengan pencapaian target penangkapan, yang menciptakan perverse incentive bagi aparat penegak hukum (Kejaksaan, Polri, KPK) untuk memprioritaskan pencapaian angka daripada keberhasilan substantif perkara.
Pertanyaan kritis yang diajukan dalam konteks ini adalah: apakah sistem performance-based incentive untuk penindakan korupsi justru mendorong kriminalisasi kebijakan pemerintah dan pengusaha BUMN ketimbang penanganan korupsi sungguhan?
Fenomena ini memanifestasikan dirinya melalui mekanisme tunjangan kinerja (tukin) yang dikaitkan dengan pencapaian target penangkapan, yang menciptakan perverse incentive bagi aparat penegak hukum (Kejaksaan, Polri, KPK) untuk memprioritaskan pencapaian angka daripada keberhasilan substantif perkara.
Pertanyaan kritis yang diajukan dalam konteks ini adalah: apakah sistem performance-based incentive untuk penindakan korupsi justru mendorong kriminalisasi kebijakan pemerintah dan pengusaha BUMN ketimbang penanganan korupsi sungguhan?