We Do Our Best
Just simple Web/Blog for our family and colleague With contact point is: refferal.reseller@gmail.com and availability language in: Mixing English and Bahasa Indonesia
Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi pejabat publik bahwa di era digital
Seratus: Analisa Dinamika Komunikasi Diplomatik: Kasus Bantuan Malaysia dan Respon Mendagri

Analisa Dinamika Komunikasi Diplomatik: Kasus Bantuan Malaysia dan Respon Mendagri



Analisa Dinamika Komunikasi Diplomatik: Kasus Bantuan Malaysia dan Respon Mendagri - is licensed under a Creative Commons Attribution-NoDerivs 2.0 Generic License.


Analisa Dinamika Komunikasi Diplomatik: Kasus Bantuan Malaysia dan Respon Mendagri

By Green Berryl

Insiden berbalas komentar antara Menteri Dalam Negeri Indonesia, Tito Karnavian, dan Mantan Menteri Luar Negeri Malaysia, Tan Sri Rais Yatim, menawarkan sebuah studi kasus menarik mengenai persinggungan antara komunikasi publik domestik dan etika diplomasi regional. Kontroversi ini bermula dari upaya Tito menekankan kemandirian penanganan bencana nasional yang justru ditafsirkan sebagai sikap nir-apresiasi oleh negara tetangga.



1. Akar Masalah: Benturan Narasi Kemandirian vs. Etika Ketimuran

Penyebab utama ketegangan ini adalah perbedaan konteks (framing) yang digunakan oleh kedua belah pihak: * Perspektif Tito Karnavian (Domestik): Tito berusaha membangun narasi "Nasionalisme Kinerja". Dalam podcast tersebut, ia ingin menegaskan bahwa negara hadir dan mampu. Angka bantuan asing (sekitar Rp1 miliar atau 60.000 USD) dikomparasikan dengan anggaran negara yang jauh lebih besar untuk menunjukkan bahwa Indonesia tidak "mengemis" atau bergantung pada asing. Tujuannya adalah mengangkat moral birokrasi lokal yang kerjanya sering tertutup oleh sorotan media terhadap bantuan asing.
* Perspektif Malaysia (Diplomatik & Budaya): Bagi pihak Malaysia, yang diwakili oleh Tan Sri Rais Yatim, bantuan bencana tidak dilihat dari "Nilai Nominal" melainkan "Nilai Rasa" (solidaritas). Dalam budaya Melayu serumpun, menakar-nakar pemberian orang (menghitung harganya) dianggap tabu dan tidak sopan (kurang adab). Kritik "Mengapa sulit ucapkan terima kasih?" adalah serangan pada aspek etika, bukan aspek ekonomi.



2. Analisa Kritik Tan Sri Rais Yatim

Kritik yang disampaikan oleh Tan Sri Rais Yatim sangat tajam karena menyentuh aspek fundamental dalam hubungan antarbangsa di Asia Tenggara, yaitu Budi Bahasa.

* Simbolisme Senioritas: Sebagai politisi senior dan eks-Menlu, suara Rais Yatim memiliki bobot diplomatik. Tegurannya bukan sekadar opini netizen, melainkan representasi kekecewaan "Abang" terhadap "Adik" dalam konteks negara serumpun.
* Substansi Kritik: Poin utamanya adalah bahwa dalam diplomasi kemanusiaan, gesture (sikap) lebih berharga daripada material. Pernyataan Tito yang mengecilkan nominal bantuan dianggap mencederai niat tulus (goodwill) dari masyarakat Malaysia. Rais Yatim menekankan bahwa bahkan sumbangan senilai 60 Ringgit pun harusnya disambut dengan syukur, bukan kalkulasi matematis.



3. Blunder Komunikasi Publik

Secara teknis komunikasi, pernyataan Mendagri Tito mengandung beberapa kelemahan fatal yang memicu krisis ini:

* Komparasi yang Tidak Perlu: Menandingkan bantuan sukarela tetangga dengan APBN adalah perbandingan yang tidak setara (apple-to-orange). Bantuan asing adalah simbol persahabatan, sementara APBN adalah kewajiban negara. Menjajarkan keduanya membuat pemerintah terlihat arogan.
* Insensitivitas Waktu: Pernyataan tersebut keluar di saat publik sedang sensitif terhadap isu bencana. Narasi "kita punya uang banyak" sering kali kontradiktif dengan realita di lapangan yang mungkin masih membutuhkan bantuan sekecil apapun, sehingga pernyataan ini menjadi bumerang di mata publik sendiri maupun asing.



4. Langkah Resolusi dan Dampaknya

Klarifikasi dan permintaan maaf Tito Karnavian adalah langkah damage control yang tepat dan cepat.

* Peredaan Tensi: Dengan secara eksplisit menyatakan "tidak bermaksud mengecilkan" dan meminta maaf jika terjadi kesalahpahaman, Tito mematikan potensi eskalasi diplomatik yang lebih luas.
* Penegasan Hubungan Personal: Tito cerdas menggunakan sejarah personalnya (kerjasama kepolisian, penanganan terorisme) dengan Malaysia untuk memvalidasi bahwa ia adalah sahabat Malaysia, sehingga pernyataannya yang kontroversial dibingkai ulang sebagai "keseleo lidah" (slip of tongue) dan bukan sikap permusuhan negara.



Kesimpulan

Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi pejabat publik bahwa di era digital, tidak ada lagi batasan tegas antara konsumsi domestik dan internasional. Pesan yang dimaksudkan untuk membangkitkan kebanggaan internal (birokrasi Indonesia) bisa dengan mudah bocor dan dimaknai sebagai arogansi oleh mitra eksternal.

Inti dari kritik Malaysia adalah pengingat akan nilai universal diplomasi Asia: Dalam memberi dan menerima, adab (sopan santun) harus selalu mendahului hisab (perhitungan angka).





We use cookies to give you best experience possible, for more info in our privacy policy .